Allah SWT. Berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ الرِّبَا أَضْعَافاً
مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ . وَاتَّقُواْ
النَّارَ الَّتِي أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.
Peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang
yang kafir.” (Qs. Ali Imron [3]: 130)
Tentang sebab turunnya ayat
di atas, Mujahid mengatakan, “Orang-orang Arab sering mengadakan
transaksi jual beli tidak tunai. Jika jatuh tempo sudah tiba dan pihak
yang berhutang belum mampu melunasi maka nanti ada penundaan waktu
pembayaran dengan kompensasi jumlah uang yang harus dibayarkan juga
menjadi bertambah. Maka Allah SWT menurunkan firman-Nya yaitu didalam Al-Qur'an Surah Al-Imran ayat 130” (al
Jami’ li Ahkamil Qur’an, 4/199)
Syaikh Abu Bakar Jabir al
Jazairi mengatakan, “Ketahuilah wahai orang yang beriman bahwa riba yang
dipraktekkan oleh bank konvensional pada saat ini itu lebih zalim dan
lebih besar dosanya dari pada jahiliah yang Allah haramkan dalam ayat
ini dan beberapa ayat lain di surat al Baqarah. Hal ini disebabkan riba
dalam bank itu buatan orang-orang Yahudi sedangkan Yahudi adalah orang
yang tidak punya kasih sayang dan belas kasihan terhadap selain mereka.
Buktinya jika bank memberi hutang kepada orang lain sebanyak seribu
real maka seketika itu pula bank menetapkan bahwa kewajiban orang
tersebut adalah seribu seratus real. Jika orang tersebut tidak bisa
membayar tepat pada waktunya maka jumlah total yang harus dibayarkan
menjadi bertambah sehingga bisa berlipat-lipat dari jumlah hutang
sebenarnya.
Bandingkan dengan riba jahiliah. Pada masa jahiliah
nominal hutang tidak akan bertambah sedikit pun jika pihak yang
berhutang bisa melunasi hutangnya pada saat jatuh tempo. Dalam riba
jahiliah hutang akan berbunga atau beranak jika pihak yang berhutang
tidak bisa melunasi hutangnya tepat pada saat jatuh tempo lalu
mendapatkan penangguhan waktu pembayaran.
Boleh jadi ada orang
yang berpandangan bahwa riba yang tidak berlipat ganda itu diperbolehkan
karena salah paham dengan ayat yang menyatakan ‘janganlah kamu memakan
riba dengan berlipat ganda’. Jangan pernah terpikir demikian karena hal
itu sama sekali tidak benar. Ayat di atas hanya menceritakan praktek para
rentenir pada masa jahiliah lalu Allah SWT cela mereka karena ulah
tersebut.
Sedangkan setelah Allah mengharamkan riba maka semua
bentuk riba Allah haramkan tanpa terkecuali, tidak ada beda antara riba
dalam jumlah banyak ataupun dalam jumlah yang sedikit.
Rasulullah yang menegaskan tentang riba, sebagaimana sabdanya;
دِرْهَمٌ رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةٍ وَثَلَاثِينَ زَنْيَةً
“Satu dirham uang riba yang dimakan oleh seseorang dalam keadaan
mengetahui bahwa itu adalah uang riba dosanya lebih besar dari pada
berzina sebanyak 36 kali.” (HR. Ahmad dari Abdulloh bin Hanzholah dan
dinilai shahih oleh Al Albani dalam Shahih al Jami’, no. 3375)”
[Nida-atur Rahman li Ahli Iman hal 41]
Dalam hadits di atas
dengan tegas Rasulullah SAW, mengatakan bahwa uang riba itu haram walaupun sangat
sedikit yang Nabi ilustrasikan dengan satu dirham. Bahkan walaupun sedikit,
Nabi katakan lebih besar dosanya jika dibandingkan dengan berzina
bahkan karena berulang kali.
Jadi hadits diatas tersebut menunjukkan bahwa uang
riba atau bunga itu tidak ada bedanya baik sedikit apalagi banyak.
Kemudian
didalam QS. Al-Baqarah ayat: 289, Allah SWT berfirman yang didalam ayat
ini berada di antara ayat-ayat yang membicarakan perang Uhud. Menurut
penjelasan Imam Qurthubi adalah karena dosa riba adalah
satu-satunya dosa yang mendapatkan maklumat perang dari Allah SWT.
Sedangkan perang itu identik
dengan pembunuhan. Sehingga seakan-akan Allah hendak mengatakan bahwa
jika kalian tidak meninggalkan riba maka kalian akan kalah perang dan
kalian akan terbunuh.
Oleh karena itu Allah perintahkan kaum muslimin
untuk meninggalkan riba yang masih dilakukan banyak orang saat itu
(lihat Jam’ li Ahkamil Qur’an, 4/199)
Kemudian Allah SWT berfirman, "Bertakwalah kamu kepada Allah’ yaitu terkait dengan harta riba dengan cara tidak memakannya". Ayat ini menunjukkan bahwa
keberuntungan itu akan didapatkan oleh orang yang bertakwa dan salah
satu bukti takwa adalah menghindari riba.
Al Falah atau keberuntungan dalam bahasa Arab adalah bermakna mendapatkan
yang diinginkan dan terhindar dari yang dikhawatirkan. Oleh karena itu
keberuntungan dalam pandangan seorang muslim adalah masuk surga dan
terhindar dari neraka. Surga adalah keinginan setiap muslim dan neraka
adalah hal yang sangat dia takuti.
Hal ini menunjukkan
bahwa jika kadar takwa seseorang itu berkurang maka kadar keberuntungan
yang akan di dapatkan juga akan turut berkurang.
Di antara bukti
bahwa meninggalkan riba itu menyebabkan mendapatkan keberuntungan adalah
kisah seorang sahabat yang bernama ‘Amr bin Uqois sebagaimana dalam
hadits berikut ini.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنْ عَمْرَو بْنَ
أُقَيْشٍ كَانَ لَهُ رِبًا فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَكَرِهَ أَنْ يُسْلِمَ
حَتَّى يَأْخُذَهُ فَجَاءَ يَوْمُ أُحُدٍ فَقَالَ أَيْنَ بَنُو عَمِّي
قَالُوا بِأُحُدٍ قَالَ أَيْنَ فُلَانٌ قَالُوا بِأُحُدٍ قَالَ فَأَيْنَ
فُلَانٌ قَالُوا بِأُحُدٍ فَلَبِسَ لَأْمَتَهُ وَرَكِبَ فَرَسَهُ ثُمَّ
تَوَجَّهَ قِبَلَهُمْ فَلَمَّا رَآهُ الْمُسْلِمُونَ قَالُوا إِلَيْكَ
عَنَّا يَا عَمْرُو قَالَ إِنِّي قَدْ آمَنْتُ فَقَاتَلَ حَتَّى جُرِحَ
فَحُمِلَ إِلَى أَهْلِهِ جَرِيحًا فَجَاءَهُ سَعْدُ بْنُ مُعَاذٍ فَقَالَ
لِأُخْتِهِ سَلِيهِ حَمِيَّةً لِقَوْمِكَ أَوْ غَضَبًا لَهُمْ أَمْ غَضَبًا
لِلَّهِ فَقَالَ بَلْ غَضَبًا لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِ فَمَاتَ فَدَخَلَ
الْجَنَّةَ وَمَا صَلَّى لِلَّهِ صَلَاةً
"Dari Abu Hurairah,
sesungguhnya ‘Amr bin ‘Uqoisy sering melakukan transaksi riba di masa
jahiliah. Dia tidak ingin masuk Islam sehingga mengambil semua harta
ribanya. Ketika perang Uhud dia bertanya-tanya, “Di manakah anak-anak
pamanku?” “Di Uhud”, jawab banyak orang. “Di manakah fulan?”, tanyanya
lagi. “Dia juga berada di Uhud”, banyak orang menjawab.” Di mana juga
fulan berada?”, tanyanya untuk ketiga kalinya. “Dia juga di Uhud”, jawab
banyak orang-orang. Akhirnya dia memakai baju besinya dan menunggang
kudanya menuju arah pasukan kaum muslimin yang bergerak ke arah Uhud.
Setelah dilihat kaum muslimin, mereka berkata, “Menjauhlah kamu wahai
Amr!” Abu Amr mengatakan, “Sungguh aku sudah beriman.” Akhirnya beliau
berperang hingga terluka lalu digotong ke tempat keluarganya dalam
kondisi terluka. Saat itu datanglah Sa’ad bin Muadz, menemui saudara
perempuannya lalu memintanya agar menanyai Abu Amr tentang motivasinya
mengikuti perang Uhud apakah karena fanatisme kesukuan ataukah karena
membela Allah dan rasul-Nya. Abu Amr mengatakan, “Bahkan karena membela
Allah dan Rasul-Nya.” Beliau lantas meninggal dan masuk surga padahal
beliau belum pernah melaksanakan shalat satu kali pun." (HR. Abu Daud,
Hakim dan Baihaqi serta dinilai hasan oleh al Albani dalam Shahih Sunan
Abu Daud no. 2212).
Ad Dainuri bercerita bahwa Abu Hurairah
pernah bertanya kepada banyak orang yang ada di dekat beliau, “Siapakah
seorang yang masuk surga padahal sama sekali belum pernah shalat?”
Orang-orang pun hanya terdiam seribu bahasa. Beliau lantas mengatakan,
“Saudara bani Abdul Asyhal.”
Dalam riwayat Ibnu Ishaq disebutkan
ada orang yang menanyakan perihal Abu ‘Amr kepada Rasulullah, beliau
lantas bersabda, “Sungguh dia termasuk penghuni surga.” (Tafsir al
Qosimi, 2/460)
Catatan Penting: Hadits di atas tidaklah tepat
jika dijadikan dalil bahwa orang yang tidak shalat itu tidak kafir
karena sahabat tadi bukannya tidak ingin mengerjakan shalat namun dia
tidak berkesempatan untuk menjumpai waktu shalat sesudah dia masuk Islam
karena kematian merenggutnya terlebih dahulu.
Ket: Artikel ini sudah diedit tanpa mengurangi inti dari isi artikel
Oleh : Heru Komarujaman (Alumni Pesantren Lirboyo selain sebagai praktisi juga akademisi perbankan Syariah)